Sabtu, 28 Maret 2009

Paham Dualisme Masyarakat Wab

Relevansi Paham Dualisme[1] Masyarakat Wab[2]
Bagi Kelestarian Lingkungan Hidup
(refleksi kritis atas kearifan local masyarakat Wab)

Pendahuluan
Manusia membutuhkan alam di dalam hidupnya. Alam adalah sumber pemenuhan segala kebutuhan hidup manusia; segala kebutuhan manusia tersedia di dalam alam. Maka manusia tinggal mengolahnya dalam memenuhi pelbagai kebutuhan hidupnya. Ini berarti, alam memiliki peranan yang besar bagi kontinuitas kehidupan manusia, yakni menjamin kelangsungan hidup manusia.
Manusia telah hidup dan mengambil hasil alam sejak ribuan tahun silam. Dalam jangka waktu tersebut, tidak terjadi masalah antara manusia dan alam. Namun, seiring dengan perkembangan peradaban manusia, perkembangan pengetahuan dan teknologi (tepatnya di zaman ini) membuatnya lupa akan peranan alam bagi hidupnya. Maka dengan keserakahan dan kerakusannya, manusia berulang kali menguras alam tanpa memperhatikan lagi kelestarian dan kesejatian dari alam tersebut. Hal ini memunculkan masalah di antara manusia dan alam.
Manusia mulai, bahkan telah dihadapkan pada pelbagai bencana alam yang merusakkan dan merugikan kehidupannya, bahkan mencabut nyawa setiap pribadi manusia. Hal ini membuatnya (manusia) menjadi cemas dan takut; mereka takut dan cemas karena alam mulai menunjukkan kemarahannya. Inilah titik balik manusia dalam memandang alam. Manusia menjadi sadar bahwa alam harus dilindungi dan dilestarikan. Oleh karena itu, alam harus dihormati, dijaga dan dirawat. Pertanyaannya, bagaiman hal tersebut dapat kita lakukan?.
Pastinya ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk memelihara dan melestarikan alam; salah satunya adalah lewat kearifan lokal dalam masyarakat desa, masyarakat tradisional. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin merefleksikan secara kritis kearifan lokal masyarkat tradisional, khususnya Masyarakat Wab dalam kaitannya dengan kelestarian alam.

I. Konsep Dualisme Masyarakat Wab: Antara Manusia Dan Kavunvunin
Dalam kebudayaan masyarakat di desa Wab, juga masyarakat Kei pada umumnya, terdapat suatu pandangan, keyakinan bahwa ada realitas lain di samping manusia (dalam hal ini masyarakat Kei dan Wab); realitas tersebut ber-ada di antara manusia, namun tidak dapat ditangkap oleh panca-indera. Realitas itu disebut dengan “KAVUNVUNIN”
[3]. Pertanyaannya, darimana mereka (kavunvunin) berasal?.[4]
Menurut tradisi masyarakat di desa Wab, dulunya “kavunvunin” adalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Mereka adalah sekelompok masyarakat yang memiliki status sosial (atau kasta) yang rendah, yakni “IR-IRI”
[5]; menurut cerita mereka berjumlah 30 orang. Namun suatu ketika, pada saat diadakan sebuah acara (semacam pesta) di desa, dimana seluruh masyarakat minum “sagero”[6] bersama-sama, mereka ini tidak kebagian. Hal tersebut memancing amarah mereka, sehingga mereka membuat keributan di sekitar lokasi berlangsungnya acara tersebut. Akibatnya, tuan-tuan mereka (yang berasal dari kasta atas) menjadi marah, dan memukul mereka.
Kemudian, tuan-tuan mereka menyuruh mereka kembali lagi ke hutan membuat “sagero” untuk mereka minum. Namun setelah mereka pergi ke hutan, mereka tidak kembali lagi, tak kunjung datang ke desa atau kampong. Mereka baru kembali setelah seminggu berlalu. Pada saat mereka kembali, wujud mereka sudah tidak kelihatan; dan masyarakat hanya mendengar suara mereka saja.
[7] Mereka kembali hanya untuk memberitahu keadaan mereka yang sekarang, dimana mereka sudah tidak kelihatan lagi; dan meninggalkan pesan bagi masyarakat setempat. Bunyi pesan itu adalah:
“Sekarang kami sudah tidak tinggal bersama-sama lagi dengan kalian. Namun, jika kalian membutuhkan kami, panggil saja; kami pasti akan datang.”
Sebenarnya, pesan tersebut lebih merupakan janji yang diberikan oleh “kavunvunin” kepada masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat Wab selalu memanggil mereka; meminta bantuan “kavunvunin” di saat ada masalah atau bahaya yang melanda desa, maupun pribadi-pribadi di desa Wab. Menurut masyarakat, “kavunvunin” memiliki kekuatan supra-natural yang memampukan mereka untuk membuat hal-hal yang tidak mungkin, seperti kebal terhadap benda-benda tajam, bisa berada di tempat yang jauh dalam hitungan detik, dll. Maka, bagi masyarakat di desa Wab, “kavunvunin” adalah penolong, penjaga masyarakat; selain Tuhan (bagi masyarakat sekarang).
Selain itu salah satu hal yang penting sehubungan dengan adanya pesan tersebut adalah bahwa pesan tersebut menjadi pengikat antara manusia dan “kavunvunin”. Manusia tidak melupakan eksistensi “kavunvunin”; mereka selalu ingat akan ada-nya “kavunvunin” di sekitar, pun di samping mereka dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Hal tersebut di atas menegaskan pandangan masyarakat di desa Wab tentang eksistensi “kavunvunin” yang terlepas dari kehidupan manusia, namun ber-ada di samping, atau di sekitar manusia. Bagi masyarakat di desa Wab, ada-nya “kavunvunin” tidak dipengaruhi oleh manusia dan kehidupannnya. Ini berarti, “kavunvunin” memiliki dunia dan kehidupannya sendiri; yang bagi masyarakat sangat berbeda dengan dunia dan kehidupan manusia. Dengan demikian secara keseluruhan manusia berbeda dengan “kavunvunin”. Walaupun begitu, hubungan antara manusia dengan “kavunvunin” tetap ada. Pertanyaannya, bagaimana manusia dapat berhubungan dengan “kavunvunin”?.

II. Hubungan Antara Manusia Dan “Kavunvunin”
Menurut masyarakat Wab, masyarakat atau manusia dapat berhubungan dengan “kavunvunin”, yang ber-eksistensi lepas dari manusia melalui beberapa cara, yakni:
a. Upacara Adat
Upacara adat dibuat dengan pelbagai maksud; seperti untuk meminta bantuan “kavunvunin”, memberi makan “kavunvunin”, atau juga untuk menghormati mereka. Di dalam upacara adat, masing-masing masyarakat telah memiliki tugas sendiri-sendiri. Tugas umum dari seluruh masyarakat adalah menyiapkan atau mengumpulkan bahan-bahan makanan bagi “kavunvunin”; biasanya bahan makanan “kavunvunin” adalah picahan gelas dan piring. Selain makanan tersebut, ada juga persembahan khusus, yakni “siri-pinang”
[8]; siri-pinang terdiri dari buah pinang, daun sirih, kapur sirih, tembakau, dan sering kali disertakan dengan secangkir kopi.
Upacara adat biasanya dipimpin oleh kepala marga yang menjadi “tuan tanah” desa
[9]. Seorang tuan tanah sebagai pemimpin bertugas menyampaikan maksud diadakannya upacara tersebut; hanya kepala margalah yang dapat berkomunikasi dengan “kavunvunin”. Maksud disampaikan dalam bahasa Kei. Setelah menyampaikan maksud, pemimpin upacara memberikan persembahan dan makanan yang telah dibawa kepada “kavunvunin”.
b. Menaikkan Siripinang
Siri-pinang merupakan persembahan khas masyarakat bagi “kavunvunin; siri-pinang adalah simbol utama jika seseorang ingin meminta bantuan kepada “kavunvunin”. Oleh karena itu, selain dalam upacara adat, siri-pinang boleh digunakan dalam bentuk yang lebih sederhana; dalam bahasa sehari-hari adalah kasih naik siri-pinang; inilah yang banyak dipraktekkan oleh masyrakat dalam kehidupan sehari-hari.
Biasanya ada orang-orang tertentu yang bertugas untuk menaikkan siri-pinang di luar upacara adat. Menurut masyarakat, mereka adalah orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan “kavunvunin”; orang-orang yang telah bertemu atau dikunjungi secara pribadi oleh “kavunvunin”. Namun, jika berada di daerah yang jauh dari desa, kita boleh melakukannya sendiri; dengan tetap menggunakan bahasa Kei. Tentunya, ada perbedaan khasiat atau hasil dari siri-pinang yang dinaikkan oleh seseorang yang memiliki hubungan khusus dengan seseorang yang tidak.
c. Kerasukan (dalam arti positif)
Cara ini biasanya digunakan oleh “kavunvunin” untuk menyampaikan sesuatu kepada masyarakat atau orang tertentu. Biasanya, “kavunvunin” masuk ke dalam diri seseorang atau meminjam tubuh seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat. Pada saat “kavunvunin” masuk ke dalam tubuh seseorang, orang tersebut tidak sadarkan diri. Maka yang aktif pada saat itu adalah “kavunvunin”.

Selain tiga cara tersebut, masih terdapat pelbagai cara yang digunakan oleh masyrakat untuk berhubungan dengan “kavunvunin”, seperti menyampaikan maksud melalui sebuah koin. “Kavunvunin” juga memiliki cara-cara lain untuk menyampaikan sesuatu kepada masyarakat, namun hanya orang tertentu saja yang dapat mengalaminya.

III. “Yodedan” Dan “Dida”: Hutan Tempat Kavunvunin Hidup
Seperti halnya manusia yang memiliki tempat tinggal, “kavunvunin” juga memilikinya. Menurut masyarakat di sana, “kavunvunin” hidup atau tinggal di “yodedan” dan “dida”. Memang masih terdapat tempat-tempat lain lagi, namun ke dua hutan ini adalah basis utama dari “kavunvunin”; pada ke dua tempat itulah upacara adat selalu dilakukan.
“Yodedan” dan “Dida” menunjuk pada dua hutan atau tempat yang berbeda. “Yodedan” berada di sebelah selatan desa Wab, sedangkan “dida” berada di sebelah utara desa Wab. Masyarakat membangun sebuah tugu pada masing-masing tempat sebagai tanda atau pusat dari tempat tersebut, dan lutur sebagai batas hutan.
[10] Bagi masyarakat desa Wab, yodedan dan dida merupakan tempat yang sangat sakral atau pemali. Hal ini membuat sehingga “yodedan” dan “dida” menjadi dua tempat yang sangat jauh dari keramaian.
Masyarakat dilarang pergi ke sana, apalagi orang yang berasal dari luar kampung; hanya orang-orang tertentu saja yang boleh pergi ke sana. Menurut masyarakat, kejadian buruk akan dialami jika seseorang pergi ke sana tanpa tujuan yang jelas; khusus bagi orang luar, harus menjalani beberapa proses sebelum pergi ke sana. Maka jika seseorang memiliki keperluan dan ingin pergi ke sana, dia harus mematuhi beberapa peraturan. Peraturan ini adalah peraturan yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat dalam kaitannya dengan sikap dan tindakan terhadap ke dua hutan di atas, yakni:
Ø Harus diantar oleh seseorang yang dianggap sebagai tua-tua adat; atau yang diperbolehkan untuk ke sana.
Ø Tidak boleh menggunakan pakaian, dan atribut-atribut lainnya yang berwarna merah.
[11]
Ø Tidak boleh masuk ke pusat (daerah tugu).
Ø Tidak boleh mengambil sesuatupun dari tempat tersebut untuk dibawa pulang.
Ø Tidak boleh menebang pohon, mematahkan ranting pohon, bahkan mencabut rumput dari ke dua hutan tersebut.
Ø Tidak boleh membuat atau menimbulkan kegaduhan, keributan di sekitar hutan tersebut dalam bentuk apapun.
Selain dari peraturan di atas, masih terdapat peraturan-peraturan lain lagi yang terlalu banyak untuk saya sebutkan di sini. Namun, sebenarnya beberapa peraturan di atas merupakan peraturan pokok di sana.
Menurut masyarakat Wab, pelanggaran atas peraturan-peraturan tersebut akan membawa dampak buruk; karena itu membuat “kavunvunin” marah. Akibatnya, setiap orang yang melanggar peraturan-peraturan tersebut akan mendapat ganjaran, seperti musibah atau celaka, sakit keras, dan keluarganya akan mengalami kesusahan. Biasanya berat-ringannya sebuah ganjaran sangat tergantung pada berat-ringannya pelanggaran yang dibuat. Namun, pada umumnya ganjaran yang diberikan dapat menghilangkan nyawa seseorang.
Atas dasar pandangan di atas, maka masyarakat sangat menghormati, menghargai, dan selalu merawat ke dua hutan tersebut. Hal ini semakin menegaskan hubungan antara masyarakat dan “kavunvunin”; masyarakat tidak hanya meminta bantuan, tetapi juga menjaga dan merawat tempat tinggal mereka, “kavunvunin”.
Oleh karena itu, antara “kavunvunin” dan masyarakat Wab terdapat hubungan yang sangat erat; hubungan timbale-balik yang menunjukkan kesatuan antara dua realitas yang berbeda; satu kelihatan, yang satu tidak kelihatan.

IV. Refleksi Kritis
Pandangan atau pemikiran masyarakat Wab tentang “kavunvunin” pasti akan ditertawakan oleh seorang intelektual; seseorang yang mendasarkan dirinya pada pemikiran-pemikiran logis-rasional. Mungkin juga orang akan merasa heran, jika melihat saya sebagai seorang mahasiswa, seseorang yang dididik untuk menggunakan rasio percaya terhadap hal-hal yang semacam itu. Namun, pada kesempatan ini saya tidak bermaksud untuk memperdebatkan kebenaran pandangan atau pemikiran dari masyarakat tempat asal saya. Pada kesempatan ini, saya ingin berpikir secara kritis, mengambil makna berharga yang tersirat di balik pandangan atau kepercayaan masyarakat tersebut.
Manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan alam di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika manusia berusaha untuk mengolah alam tempat dimana dia hidup. Namun, sayangnya usaha tersebut dilakukan dengan keserakahan dan kerakusan. Akibatnya, alam mulai dan telah rusak, mengering, hingga akhirnya membawa pelbagai macam bencana di dalam kehidupan manusia. Hal ini menyadarkan manusia atas segala perbuatan dan tindakannya yang serakah; manusia sadar akan kesalahannya. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat mengembalikan kelestarian alam?.
Menurut saya, pandangan atau kepercayaan masyarakat Wab tentang “kavunvunin” memberikan sumbangan besar bagi usaha manusia di dalam mengembalikan kelestarian alam. Di dalam pandangan tentang “kavunvunin”, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Wab memandang alam secara lain. Bahwa alam bukan hanya berisi pohon, binatang, dan makhluk hidup lainnya (selain manusia) tetapi juga merupakan tempat hidup, tempat tinggal dari “sang penolong yang lain” (kavunvunin) bereksistensi. Oleh karena itu, alam harus dijaga, dihormati, dan dirawat agar masyarakat pun selalu dibantu, ditolong oleh “kavunvunin” di dalam kehidupannya.
Pandangan tersebut menunjuk pada relasi timbal-balik antara masyarakat dengan “kavunvunin”. Bahwa antara masyarakat dengan “kavunvunin” terdapat hubungan saling membantu, menghormati satu dengan yang lainnya. Atas dasar relasi tersebut, maka masyarakat selalu menghormati, menjaga, dan melestarikan alam tempat dimana “kavunvunin” hidup dan tinggal; mereka tahu, sadar bahwa hanya itulah yang dapat mereka lakukan untuk “kavunvunin” yang bereksistensi secara tak kelihatan. Lebih dari pada itu, masyarakat sadar bahwa dampak dari tidak hormat, tidak menjaga, dan tidak merawat tempat tinggal “kavunvunin” akan membawa mereka pada bahaya, pada bencana. Singkatnya, jika kita melakukan yang baik, maka kita pun akan mendapatkan yang baik.
Manusia sendiri mengalami hal yang sama dengan masyarakat Wab, namun terbalik. Maksudnya ialah bahwa manusia di dalam kehidupannya tidak sendirian, melainkan hidup bersama dengan makhluk hidup yang lain, dan juga dengan benda-benda mati yang ada di dunia, alam ini. Dalam hubungannya dengan semua benda tersebut baik mati maupun hidup, manusia memiliki kodrat yang paling tinggi di antara semua benda-benda tersebut; benda-benda yang kita sebut sebagai alam. Oleh karena itu, manusia memiliki kemampuan untuk menguasai, mengatur, dan mengolah alam ini. Namun sayangnya, hal itu membuat manusia memandang alam dengan sifatnya yang egois, serakah dan rakus.
Konsekwensinya, manusia mulai dan telah menghadapi alam dengan sifat penguasa yang tidak peduli atas nasib dari alam itu sendiri; manusia tidak menyadari bahwa alam dan dirinya memiliki hubungan saling membutuhkan; manusia membutuhkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan alam membutuhkan manusia untuk kelestariannya. Akibatnya, manusia dihadapkan pada pelbagai bencana, bahaya alam yang mengancam kontinuitas hidupnya.
Atas dasar refleksi tersebut, saya berpikir bahwa sebenarnya yang dibutuhkan manusia untuk melestarikan alam adalah mengubah cara pandang mereka terhadap alam. Alam haruslah dipandang sebagai “penyelamat” yang lain; penyelamat ke dua setelah Tuhan; atau yang dalam bola kaki sering disebut dengan pemain ke 13. Dengan memandang alam sebagai “penyelamat”, maka manusia akan merasa bahwa alam memang penting bagi hidupnya. Bahwa tanpa penyelamatnya, manusia akan mengalami bahaya, celaka yang dapat mengakhiri eksistensinya di dunia ini.
Atas dasar pandangan tersebut, manusia dapat mengubah hubungan antara dirinya dengan alam. Bahwa manusia tidak boleh menghadapi alam dengan sifat penguasa, melainkan menghadapi alam dalam hubungan timbal balik; manusia membutuhkan alam untuk hidupnya, dan alam membtuhkan manusia untuk kelestariannya. Inilah yang nampak secara tidak langsung di dalam “dualisme” masyarakat di desa Wab; yang nampak di dalam hubungan manusia dan “kavunvunin”, antara yang kelihatan dan tidak kelihatan.


[1] Masyarakat Wab memang tidak menggunakan kata ini. Namun, saya sengaja memakai kata “dualisme” untuk menjelaskan pandangan hidup masyarakat Wab tentang “kavunvunin” yang hidup bersama dengan masyarakat, namun tidak kelihatan. Bahwa adanya mereka terlepas dari manusia.
[2] Desa Wab adalah desa asal saya. Desa ini terletak di bagian barat pulau Kei-Kecil. Masyarakat di sana (juga masyarakat Kei pada umumnya) masih menjaga dan melestarikan pelbagai pandangan, budaya, dan adat istiadat tentang nenek moyang. Salah satunya adalah pendangan tentang “kavunvunin”.
[3] KAVUNVUNIN merupakan kata bahasa Kei yang digunakan untuk menyebut manusia atau orang-orang (eksistensinya) yang tidak kelihatan oleh panca-indra; atau lebih dikenal dengan “ORANG HILANG-HILANG”. KAVUNVUNIN dibedakan dengan SETAN, walaupun eksistensi keduanya tidak dapat ditangkap oleh panca-indera.
[4] Ada banyak versi cerita tentang asal-usul “kavunvunin” dengan tempat-nya masing-masing dari pelbagai desa atau kampung di pulau Kei. Ini berhubungan dengan pandangan masyarakat Kei bahwa setiap desa atau kampung memiliki “kavunvunin”-nya masing-masing. Pada kesempatan ini, saya hanya akan membahas “kavunvunin” berdasarkan pada pandangan masyarakat di desa Wab; desa asal saya.
[5] Di dalam adat, kebudayaan masyarakat Kei terdapat tiga golongan, status sosial (kasta), yakni: “Mel-Mel sebagai kasta tertinggil”; “Ren-Ren sebagai kasta yang berada di bawah “Mel-Mel”; dan “Iri-Iri sebagai kasta terendah.”
Status sosial (kasta) tersebut berpengaruh pada relasi atau interaksi antara masyarakat di dalam satu komunitas masyarakat di Kei; pembagian tugas dalam kehidupan bersama; dan pola hidup masyarakat di sana.
[6] “Sagero” adalah salah satu minuman khas masyarakat di kepulauan Kei. Minuman ini hampir sama dengan saguer di Minahasa. Kedua minuman tersebut memiliki kadar alkohol yang sama. Namun, sumber dan cara pembuatan “sagero” berbeda dengan saguer. “Sagero” diambil dari pelepa pohon kelapa yang umurnya masih mudah; yang kemudian diolah hingga menjadi “sagero”.
[7] Pada saat saya bertanya tentang sebab yang menyebabkan mereka hilang, umumnya masyarakat menjawab kurang tahu. Bagi saya jawaban ini dapat dibenarkan. Karena, memang kejadian tersebut tidak dialami secara langsung oleh masyarakat. Mungkin juga sebab tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang tertentu saja, seperti tua-tua adat.
[8] Sebenarnya “persembahan” bukanlah arti dari “siri-pinang”. Namun, saya menggunakan kata tersebut (persembahan), karena cukup sulit untuk menjelaskan arti “siri-pinang” yang diberikan kepada “kavunvunin” secara lebih dalam, dan bukan hanya sekedar sebuah persembahan belaka.
[9] Dalam kebudayaan di pulau Kei, “tuan tanah” adalah marga atau fam yang pertama sekali menetap di desa, atau yang membuka hutan di suatu daerah tertentu, yang akhirnya menjadi desa. Namun, pengertian “tuan tanah” di sini harus diartikan secara berbeda. Penyebutan “tuan tanah” bukan berarti bahwa seluruh tanah di desa di-milik-i oleh marga tersebut, melainkan menunjuk pada eksistensi suatu marga sebagai tuan kampong.
[10] Lutur adalah pagar yang dibuat dengan hanya menyusun batu-batu.
[11] Dalam kebudayaan masyarakat di sana, “warnah merah” adalah warnah yang digunakan dalam perang. Maka, menurut masyarakat, menggunakan atau memakai “warnah merah” di ke dua hutan tersebut sama artinya dengan menantang “kavunvunin” berperang, sehingga “warnah merah menjadi warnah yang sakral dalam hubungannya dengan “kavunvunin”. Bagi masyarakat, hal itu akan membawa marah bahaya.